Cinta menurutku tak berwarna
Ia menjadi jingga
Sebagaimana kau memaknainya
Ia pun menjadi kuning, biru, dan merah
Sebagaimana kau menginginkannya
Cinta bagiku
Tak ubahnya kumpulan narasi
Tentang kejujuran dan keberanian
Tentang kemarahan dan kasih sayang
Cinta adalah lukisan yang unik
Dan tak terkatakan
Sebab ia menenggelamkan kita
Pada angan-angan dan mimpi yang abadi
Dan cintaku padamu
Adalah surga yang tak bisa kumasuki
Jika tanpamu
Berikut beberapa cuplikan paragraf menarik dari buku ini:
**Halaman 18:
Guruku
mengatakan, coba tatap wajah suami di saat tidur. Pikirkan, seseorang
yang tidak ada hubungan darah dengan kita, tiba-tiba sekarang berjuang
untuk kita. Mencari nafkah, membahagiakan kita. Nasihat yang sering aku
terapkan. Menatap wajah suami dan anak ketika tidur, membuat hati
dilimpahi rasa sayang.
Ingin aku menjadi istri sempurna bagi
suamiku di setiap saat. Yang selalu siap melayaninya, menyiapkan segala
keperluannya, memasakkan makanan paling enak untuknya, menjadi
sahabatnya, menjadi kekasihnya, menjadi istri dan ibu dari anaknya,
menjadi penggembiranya, menjadi penyemangatnya. Namun ternyata
kemampuanku terbatas. Pernah aku menangis di hadapannya, menyesali
ketidakmampuanku menjadi seorang istri yang sempurna. Tapi suaranya yang
tenang mendamaikanku. "Kamu sudah berbuat yang terbaik, tidak perlu
jadi sempurna, yang penting kan sudah berusaha. Yang penting kan aku
bahagia. Aku tidak menuntut lebih dari kamu."
**halaman 208:
Saat
ta'aruf denganmu aku tidak merasa diombang-ambingkan oleh sebuah
ketidakpastian akan bentuk hubungan kita. Semuanya jelas. Maksud
ta'arufmu, dan kelanjutan proses ta'aruf kita. Bagiku, itulah lelaki.
lelaki jantan. Berani datang untuk menikah. Bukan sekadar bertandang
lalu ngobrol tak keruan. Ah... aku jatuh cinta, padamu.
Cintaku semakin tebal setelah kita menikah. Kamu ingat, ketika aku
menangis tersedu-sedu saat akan melepasmu ke Jakarta? Padahal itu bukan
perpisahan pertama. Itu perpisahan biasa, karena seminggu kemudian kita
akan bertemu lagi. Namun, aku ingin kamu lebih lama di Bandung pekan
ini. Menemaniku kuliah, ke pengajian bersama, makan di warung pinggir
jalan berdua. tapi, mata pencaharianmu di ibukota. Kau tetap harus
pergi, karena memang bukan saatnya cuti. Aku mengantarmu sembari
menangis sedih. Cengeng sekali ya aku?
Sekarang baru
kupahami. Tindakanmu saat itu tak keliru. Kamu kedepankan rasio, sedang
aku terlalu mengikuti perasaan. Justru sekarang aku banyak belajar
darimu. Untuk seimbang dalam mempertimbangkan sesuatu. Tidak terlalu
bergumul dengan perasaan.
**Halaman 179:
Di
saat teman-temanku mengeluh kalau suami mereka bertingkah bak raja,
bahkan memegang sapu dan kemoceng pun ogah, aku diberi suami yang ringan
tangan membantuku mengurus rumah tangga. Ia tak menganggap bahwa
pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak melulu tugas istri. Dia pernah
bilang, "Sayang, kamu sudah berusaha keras menjadi ibu yang baik buat
Nailah dan kamu lumayan berhasil kok,"
Finally... buku ini sukses mengaduk-aduk perasaan saya, membuat saya menitikkan air mata atau senyam-senyum sendiri. Buku Asma Nadia selalu berwarna dan memberikan pandangan yang lain terhadap saya tentang pernikahan, tentang menyempurnakan separuh agama.
Bismillah... Semoga Allah memudahkan tiap-tiap langkah menuju cinta-Nya, Aamiin...