Minggu, 02 Desember 2012

Muhasabah Cinta "Asma Nadia"

Cinta menurutku tak berwarna
Ia menjadi jingga
Sebagaimana kau memaknainya
Ia pun menjadi kuning, biru, dan merah
Sebagaimana kau menginginkannya
 
Cinta bagiku
Tak ubahnya kumpulan narasi
Tentang kejujuran dan keberanian
Tentang kemarahan dan kasih sayang
 
Cinta adalah lukisan yang unik
Dan tak terkatakan
Sebab ia menenggelamkan kita
Pada angan-angan dan mimpi yang abadi
 
Dan cintaku padamu
Adalah surga yang tak bisa kumasuki
Jika tanpamu


Berikut beberapa cuplikan paragraf menarik dari buku ini:
**Halaman 18:
Guruku mengatakan, coba tatap wajah suami di saat tidur. Pikirkan, seseorang yang tidak ada hubungan darah dengan kita, tiba-tiba sekarang berjuang untuk kita. Mencari nafkah, membahagiakan kita. Nasihat yang sering aku terapkan. Menatap wajah suami dan anak ketika tidur, membuat hati dilimpahi rasa sayang.
Ingin aku menjadi istri sempurna bagi suamiku di setiap saat. Yang selalu siap melayaninya, menyiapkan segala keperluannya, memasakkan makanan paling enak untuknya, menjadi sahabatnya, menjadi kekasihnya, menjadi istri dan ibu dari anaknya, menjadi penggembiranya, menjadi penyemangatnya. Namun ternyata kemampuanku terbatas. Pernah aku menangis di hadapannya, menyesali ketidakmampuanku menjadi seorang istri yang sempurna. Tapi suaranya yang tenang mendamaikanku. "Kamu sudah berbuat yang terbaik, tidak perlu jadi sempurna, yang penting kan sudah berusaha. Yang penting kan aku bahagia. Aku tidak menuntut lebih dari kamu."  


**halaman 208:
Saat ta'aruf denganmu aku tidak merasa diombang-ambingkan oleh sebuah ketidakpastian akan bentuk hubungan kita. Semuanya jelas. Maksud ta'arufmu, dan kelanjutan proses ta'aruf kita. Bagiku, itulah lelaki. lelaki jantan. Berani datang untuk menikah. Bukan sekadar bertandang lalu ngobrol tak keruan. Ah... aku jatuh cinta, padamu.
Cintaku semakin tebal setelah kita menikah. Kamu ingat, ketika aku menangis tersedu-sedu saat akan melepasmu ke Jakarta? Padahal itu bukan perpisahan pertama. Itu perpisahan biasa, karena seminggu kemudian kita akan bertemu lagi. Namun, aku ingin kamu lebih lama di Bandung pekan ini. Menemaniku kuliah, ke pengajian bersama, makan di warung pinggir jalan berdua. tapi, mata pencaharianmu di ibukota. Kau tetap harus pergi, karena memang bukan saatnya cuti. Aku mengantarmu sembari menangis sedih. Cengeng sekali ya aku?
Sekarang baru kupahami. Tindakanmu saat itu tak keliru. Kamu kedepankan rasio, sedang aku terlalu mengikuti perasaan. Justru sekarang aku banyak belajar darimu. Untuk seimbang dalam mempertimbangkan sesuatu. Tidak terlalu bergumul dengan perasaan. 

 
**Halaman 179:
Di saat teman-temanku mengeluh kalau suami mereka bertingkah bak raja, bahkan memegang sapu dan kemoceng pun ogah, aku diberi suami yang ringan tangan membantuku mengurus rumah tangga. Ia tak menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak melulu tugas istri. Dia pernah bilang, "Sayang, kamu sudah berusaha keras menjadi ibu yang baik buat Nailah dan kamu lumayan berhasil kok," 


Finally... buku ini sukses mengaduk-aduk perasaan saya, membuat saya menitikkan air mata atau senyam-senyum sendiri. Buku Asma Nadia selalu berwarna dan memberikan pandangan yang lain terhadap saya tentang pernikahan, tentang menyempurnakan separuh agama. 
Bismillah... Semoga Allah memudahkan tiap-tiap langkah menuju cinta-Nya, Aamiin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar